September 28, 2016

Dia Kekasihku Bukan Musuh






Pagi itu aku tengah duduk melamun di dalam kelas. Jam masih menunjukan pukul 06.30 sehingga kelasku masih sepi. Kubayangkan seseorang yang sangat cantik tengah tersenyum apik kepadaku. Sungguh, sejak awal aku berjumpa dengannya ada perasaan aneh yang menghiasi hatiku yang hampa ini. Tanpa kusadari aku ternyata senyum senyum sendiri seakan akan aku tengah berpapasan langsung dengan vena, gadis bak bidadari yang tengah kukhayalkan.


“Bro….!! Lo kenapa?” ujar nathan mengejutkanku. Aku sontak kaget dan sedikit malu. “Lo itu kayak orang gila tau..!” lanjutnya.
“Apaan sih lo itu, nat.” balasku sembari mengelaknya.
“Abisnya lo dari tadi senyam senyum sendirian. Emang lo lagi mikirin apa?” tambahnya sedikit cerewet.
“Kepo lo… udah ah, gak usah dibahas lagi.”
“Cie ciee.. pasti lagi mikirin cewek, kan?”
“Ihhh..!! Cerewet amat sih mulut lo itu.”
Nathan hanya tersenyum kecil lalu duduk di bangkunya.


Bel istirahat berbunyi 1 menit yang lalu. Kuarahkan langkahku ini untuk menemui vena kekelasnya. Dan beruntungnya aku, vena pun tengah duduk di teras kelas sambil menungguku.
“Eh, radit.” ujarnya dengan senyum ayunya yang khas.
Aku duduk di sampingnya dan kupandangi wajahnya yang sedikit berbeda pada hari ini.”kamu kenapa, ven?” heranku.
“Enggak.. aku gak kenapa kenapa.”
“Tapi kok kamu kayak abis nangis gitu? Apa kamu ada masalah?”
“Iya nih, dit. Aku abis putus sama pacar aku.”
Ucapan itu membuat tekadku bertambah kuat untuk segera menembak vena dan menjadikannya pacarku. “se..serius kamu?” Aku sedikit tidak percaya.
Vena mengangguk.
“Kalo begitu, pulang sekolah kamu ke taman sekolah dulu yah.” ajakku.
“Memangnya mau apa?”
“Udah.. nantipun kamu tau.”
Vena kembali tersenyum.


Vena lagi lagi sudah datang terlebih dulu ke taman sekolah sementara aku baru datang karena pelajaran terakhirku baru berakhir.
“Maaf yah aku telat.” Ucapku dengan nada pelan.
“Iya. Oya, langsung to the point aja yah soalnya udah siang.”
Aku sempat dilanda grogi saat kata kata yang muncul di benakku akan kukatakan.”ven, mmm… sejujurnya aku itu suka sama kamu. Ka, kamu mau gak jadi pacar aku?” Gugupku. Vena menunduk sambil tersenyum. Rasa legaku belum datang sampai vena menjawabnya ditambah hatiku terus berdetak kencang.
“Aku mau, dit.”
Hatiku berubah berbunga bunga. “Sungguh?”
“Iya radit..”
“Thanks yah.” ucapku.


Saat kutemui nathan di parkiran karena dia menungguku, aku tanpa sengaja memeluknya karena saking bahagianya hatiku ini.
“Eh, dit! Apa apaan sih lo itu? Malu tau gakk?!” serungut nathan sambil melepas pelukanku.
“Maaf nat. Refleks doang..” jawabku sambil kemesem kearahnya.
“Memangnya diterima?”
“Yaiyalahh.. radit gitu lho.”
“Memangnya namanya siapa sih?”
“Nanti gue kasih tau.”
Nathan hanya membalas senyum asamnya.
“Lo itu kepo amat lho.” sambungku lagi yang melihat wajahnya agak marah.
“Ah udah ayo pulang!” pintanya.


Keesokan harinya di sekolah
“Horee.. gue menang lagi!” ujar nathan setelah menghentikan roda motor sportnya di depan gerbang sekolah.

“Lo mah tiap hari curang..” balasku sambil mencopot helm yang berada di kepalaku.
“Kapan gue curang??”
“Tau ah.”

Nathan cuma tersenyum kecil dan ikut melepas helmnya. Vena lewat di depan kami dan berhenti di hadapanku. Dia menyapaku.

“hai, dit.”
“hai juga.” balasku lembut.
Nathan sedikit buang muka dan dari rautnya seakan dia tak menyukai vena menyapaku.
“hai nath.” Sapa vena ragu ragu pada nathan.
“Jadi dia pacar lo?” Kata nathan dengan nada pahit.
“Lo kenapa? kok jadi sensi giti?” heranku sinis.

“Asal lo tau, vena itu musuh gue! Berkali kali dia mengkhianati gue dan gue gak mau sahabat gue juga ngerasain hal yang sama dengan gue!” bentaknya.
“Apa serendah itu aku di mata kamu? A, aku musuh kamu? Apa masih kurang setelah kamu nampar aku dan putus dengan aku secara tidak beretika? Aku udah khilaf, nath.. aku khilaf.” Vena menitikkan setetes air matanya dan membendung air yang akan jatuh ke pipinya lagi.

“Yang ada itu lo yang gak bermoral! 4 tahun kita pacaran. Semudah itukah lo lupa sama gue? Dan tega teganya lo duain cinta gue?”
Aku hanya terpengangah melihat pacarku dan sahabatku bertengkar. Apa yang harus aku perbuat? Aku hanyalah watak tirtagonis dalam kisah mereka yang sudah berakhir.

“Gue mohon hentikan! Kalian itu kayak anak kecil. Nathan, suka atau gak suka vena itu pacar gue. Gue udah jadian sama dia dan lo gak berhak ngatur ngatur tentang hubungan gue sama vena.”
“Oohhh jadi lo berpihak ke nyamuk dalam kelambu itu? Hebat..” cetus nathan sambil menepuk tangannya.

Karena aku sudah kehilangan rasa sabarku, aku cengkram kerah baju nathan dan kulontarkan kata makian untuknya.
“Lo gak punya hak untuk menghina vena. Mulai saat ini gue gak punya hubungan sahabat lagi sama lo!” Tukasku lalu mendorong badan nathan. Nathan bangkit dan menonjok pipi kiriku hingga memar. Saat itulah aku dan nathan berkelahi dengan hebatnya. Vena yang bermaksud melerai malah badannya terhujam oleh pukulan nathan dan terjatuh lalu kepalanya membentur sudut pagar besi itu. Kami sontak berhenti berkelahi setelah melihat kepala vena bersimbah darah. “Vena!” Kata kami.

Di rumah sakit
Nathan berdiri kebingungan begitupula aku yang adalah pacarnya vena. Dokter ke luar dan mengatakan vena kritis dan amnesia. Aku syok dan tak percaya vena tidak akan lagi ingat padaku. Begitupula pemikiran nathan.

Saat vena sadar aku bertambah sedih karena vena tak mengenali aku. Aku ke luar ruangan dengan kecewa dan aku duduk di samping nathan yang tengah bingung dan cemas. Dia menoleh ke wajahku.
“Gue salah menilai dia, dit”

Aku balik menatapnya.
“Gue minta maaf. Tapi asal lo tau, vena itu kekasih gue bukan musuh lo.”
“Iya lo benar.. maafin gue yah.”
Nathan memelukku.


end



Agen Togel , Bandar Togel , Togel Online , Togel Hongkong , Togel Singapura , Bandar Online ,Judi Togel , Judi Online